Medan, PotretSumut – Penunjukan Rio Adrian Sukma sebagai Tenaga Ahli Wali Kota Medan, Rico Tri Putra Bayu Waas, memicu sorotan tajam.
Sosok Rio disebut-sebut merupakan ‘titipan’ Ketua DPD Partai NasDem Medan, Afif Abdillah.
Tak hanya Rio, dua nama lain yang juga dikaitkan dengan NasDem dan kini menduduki posisi strategis di lingkungan Pemko Medan adalah Gea dan Alwi Maksudi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ketiga figur tersebut dinilai mendapat tempat istimewa dalam lingkaran kekuasaan di Balai Kota Medan.
Informasi internal menyebut, mereka sering dijuluki sebagai “pembisik utama” bagi Wali Kota Rico Waas, yang diketahui merupakan keponakan kandung Ketua Umum DPP NasDem, Surya Paloh.
Sosok Rio Adrian makin menjadi bahan perbincangan setelah aksinya menghadang sejumlah wartawan yang hendak meliput kegiatan di Kantor Wali Kota viral di media sosial.
Ia bahkan disebut-sebut sebagai “ketua kelas” dalam struktur kekuasaan informal di lingkaran wali kota, hingga pejabat Pemko pun dikabarkan harus ‘menghadap’ Rio untuk urusan mutasi jabatan dan seleksi terbuka eselon II, III hingga IV.
Tak berhenti di situ, Rio dikabarkan mengincar kursi Direktur Utama Perusahaan Umum Daerah (PUD) Pasar Kota Medan.
Proses seleksi posisi strategis ini direncanakan berlangsung pada September mendatang. Bahkan, sumber internal menyebut Rio telah mendapat restu dari DPP NasDem untuk menduduki jabatan bergengsi tersebut.
Ketika dikonfirmasi mengenai posisi Rio, Gea, dan Alwi Maksudi di struktur Pemko Medan, Sekretaris Dinas Kominfo Kota Medan, M Agha Novrian, belum memberikan jawaban pasti.
“Nanti kami cek dulu ya,” ujar Agha melalui pesan WhatsApp, Jumat (18/7). Agha juga saat ini menjabat Plt Kepala Bagian Prokopim Setdako Medan.
Sementara itu, Afif Abdillah selaku Ketua DPD NasDem Medan yang disebut-sebut sebagai pihak yang merekomendasikan Rio, memilih tidak memberikan tanggapan meskipun telah dikonfirmasi oleh sejumlah wartawan sejak Jumat (18/7).
Jejak Politik Rio
Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU) Medan, Rio pernah mencalonkan diri sebagai anggota legislatif DPRD Medan pada Pemilu 2024 dari Partai NasDem.
Ia maju dari Daerah Pemilihan IV dengan nomor urut 2, namun gagal meraih kursi.
Sebelumnya, Rio juga tercatat sebagai tenaga ahli Fraksi NasDem di DPRD Medan, di bawah kepemimpinan Afif Abdillah. Selain itu, ia pernah menjabat sebagai Wakil Bendahara Umum HIPMI periode 2019–2023.
Kini, posisinya sebagai Tenaga Ahli Wali Kota menjadikannya sebagai salah satu figur paling diperhitungkan di lingkaran dalam Pemko Medan.
Kritik Lira: Jangan Arogan
Sekretaris Wilayah LSM Lumbung Informasi Rakyat (LIRA) Sumut, Andi Nasution, mengecam keras sikap Rio Adrian yang dinilai arogan terhadap jurnalis. Ia meminta agar Rio maupun kelompoknya dari NasDem Kota Medan tidak merasa paling berkuasa.
“Yang bikin saya sebut belagu itu, ya karena dia menghadang wartawan. Ngapain? Semua hal bisa diselesaikan secara komunikasi. Jangan mentang-mentang sudah dapat posisi, langsung arogan,” kata Andi, Sabtu (19/7).
Menurut Andi, jurnalis hanya menjalankan tugas menyampaikan informasi kepada masyarakat. Ia pun menyebut Rio Adrian dan koleganya tak lebih dari sekadar “pencari kerja” yang kini menikmati gaji dari uang rakyat.
“Bayangkan, gajinya sekarang jauh lebih tinggi dibanding saat dia masih jadi staf fraksi di DPRD. Bahkan kami dengar dia ngaku-ngaku bisa atur seleksi jabatan, dan ikut main dalam alokasi dana kelurahan,” sambung Andi.
Ia menegaskan bahwa bila Rio ingin eksis dalam struktur Pemko Medan, maka yang paling utama dijaga adalah relasi dengan media.
“Kalau mau ‘panjang umur’ di Pemko, rawat hubungan baik dengan jurnalis. Wartawan akan selalu ada siapa pun Wali Kotanya. Jangan mentang-mentang dekat dengan kekuasaan, malah berlagak. Rico Waas pun bisa tamat karier politiknya kalau dikelilingi orang-orang model Rio,” tegas Andi.
Isu penempatan tenaga ahli di Pemko Medan yang kental nuansa politik menjadi perhatian publik, khususnya ketika menyangkut transparansi, profesionalitas, dan relasi kekuasaan dengan media. Kasus Rio Adrian adalah potret nyata bagaimana figur ‘titipan politik’ bisa memicu resistensi jika tak menjaga etika birokrasi. (*)
Penulis : Diva Suwanda
Editor : Diva Suwanda







